Rabu, 17 Juni 2009

”Pers Mahasiswa: Antara Idealis, Independen dan Represifitasnya.

Bahwa kebanggaan sebagai wartawan saat ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan masa sebelum reformasi. Alasannya, saat ini menjadi wartawan jauh lebih mudah dibandingkan dahulu. Nyaris, setiap orang yang bekerja pada sebuah penerbitan, betapapun sederhananya penerbitan itu, sudah menamakan diri atau dianggap wartawan.” 1

Pers dalam kebebasan, ingatan kita pasti tertuju 10 tahun silam ketika Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers disahkan. Undang-undang yang memberi kebebasan (yang boleh jadi) melebihi harapan masyarakat pers sendiri. Intervensi pemerintah ke dalam kehidupan pers mulai diharamkan. Lembaga perizinan dan breidel yang dahulu merupakan hantu bagi masyarakat pers dihilangkan. Senyampang dengan kemudahan itu lahirlah lembaga-lembaga pers maupun penerbitan dengan berbagai corak produknya, mulai dengan gaya profesional sampai lembaga penerbitan pas-pasan yang hanya mampu terbit sekali dua kali cetak lalu gulung tikar.

Namun bagaimana dengan Pers Mahasiswa antara kaitannya dengan Undang-undang tersebut dan pada realita kehidupannya? Seolah-olah masih berada dalam ikatan yang sama namun diikat oleh subyek yang berbeda, pada nyatanya lembaga pers mahasiswa masih belum mampu untuk menunjukkan idealisme-nya. Bagaimana bisa, sebuah lembaga pers mahasiswa –yang tentunya belum independen- masih mengandalkan sokongan dana dari petinggi-petinggi universitas atau fakultas untuk menjalankan roda produksinya. Seperti memakan buah simalakama. Makan mati. Tidak makan mati. Mendapat dana tapi tidak mampu mengeksploitasi berita ”sesungguhnya” dan bersikap kritis, atau tidak mendapat dana dan lembaga pers mahasiswa tersebut tinggal sebuah nama.

Menilik sejarah, kehidupan pers pada masa kolonial dapat dibedakan menjadi 3; pers kolonial, pers komersial (umumnya dikelola oleh etnis Cina pada saat itu) dan pers perjuangan. Pers perjuangan atau disebut sebagai pers nasional, lahir dengan etos perjuangan dan motivasi ide politik. Ia merupakan bagian dari institusi politik dan bagian organik dari suatu dinamika sosial, yang pada saat itu bersifat opponen (bertentangan) dengan sistem kolonial. Sifat oponen dari pers perjuangan turut membangun etos jurnalisme yang khas. Kehadiran pers perjuangan yang ditempatkan sebagai alat politik membawa konsekuensi jurnalis dan aktivitas politik dalam dua sisi dari mata koin yang sama.2 Pertanyaannya, mampukah pers mahasiswa mengetrapkan asas itu? Menentang ketidakwajaran-ketidakwajaran dalam sistem maupun pengorganisasian di lingkungan akademika?

Sulit. Ketika kembali terpaku dan terpatri dengan darimana kita mampu terus berproduksi.

Mungkin sekarang yang terpenting ialah bagaimana usaha saya -selaku anggota sabuah pers mahasiswa tentunya- untuk ”mengakali” jerembab permasalahan tersebut.

Kemampuan berbahasa. Ya, mungkin itulah jawabnya. Dengan kelihaian berbahasa, seorang insan media atau dalam hal ini mahasiswa yang belajar menjadi wartawan akan mampu mengungkapkan realita tanpa harus menyakiti salah satu pihak. Profesi jurnalistik yang memiliki tugas utama menulis dan menyajikan berita, tentu sangat erat kaitannya dengan bahasa sebagai media utama. Efektivitas penyampaian berita (pesan) akan sangat ditentukan oleh kemampuan seorang wartawan dalam menyajikan berita kepada khalayak. Semakin baik penguasaan bahasa seorang wartawan, semakin besar pula kemungkinan berita itu sampai kepada khalayak dengan baik. Dalam konteks ini, wartawan berperan sebagai pengirim pesan dan khalayak sebagai penerima pesan. Terkait kehidupan modern yang penuh dinamika, wartawan menghadapi tantangan untuk terus mengembangkan kemampuannya dalam berbahasa. Tanpa itu, seorang wartawan akan tertinggal dan sulit bersaing dalam proses penyajian berita.

Disinilah beruntung Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga memiliki LPPM (Lembaga Pers dan Penerbitan Mahasiswa) SEKTOR. Sebagai satu-satunya Pers yang terbukti mampu menjaga eksistensinya diantara lembaga-lembaga pers fakultas lainnya di Universitas Airlangga. Terbukti sejak berdiri pada tahun 1986, sempat di breidel beberapa kali hingga sekarang telah mampu memproduksi 24 edisi majalah Sektor, Buletin Marginal yang terbit tiap bulanan, Jurnal Skema, Mading Depan hingga Sektor on-line yang akan segera launching.

Begitulah SEKTOR kemudian hadir menyokong nadi kehidupan fakultas dan turut menjadi sejarah Persma Unair. Ditengah keterbatasan, kritik dari berbagai pihak dan tantangak-tangan dari UKF-UKF lain, dalam usianya yang telah menginjak usia 23 tahun, SEKTOR akan terus berbenah, memperbaiki diri, memperbaiki kemampuan berbahasa para anggotanya, memantapkan kerja dan tentunya mempercantik tampilan. SEKTOR akan terus menjaga konsistensinya, dalam usaha mencapai utopia-utopia persma yang sesungguhnya.

Hidup Pers Mahasiswa!

1Drs. Kokon Furkonulhakim, MS dalam ulasannya tentang Kebebasan Pers; www.tempointeraktif.com.

2Arymami dalam ulasannya terhadap buku PERS NASIONAL: TIDAK CUKUP DENGAN MITOS, (Agustus, 2007) karangan Ashadi Siregar.


* Gag Jelas 1. Ditulis buat KORANKU. *

Tidak ada komentar: