banyak pro dan kontra.
ada yang ngomong tema itu condong ke lingkungan, ada yang ngomong kurang ke-ekonomi-nya, sampai yang paling menohok ada yang ngomong itu temanya majalah anak SMA.
jambooooozzzzzz...............
karepmu.
tak posting'in editorialQ buat SEKTOR SAMPAHolic ya teman2....
SAMPAH : antara u(s)ang dan uang*
Karut-marut problematika sampah memang masalah klasik. Masalah sampah bersumber dari manusia dan tingkah lakunya. Manusia beraktifitas dan setiap aktifitas manusia menghasilkan sampah atau buangan.
Sampah menurut Kamus Istilah Lingkungan untuk Manajemen adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktifitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Ibu Kota Indonesia pada 1985, 18.500 m3 sampah dihasilkan per harinya dan pada 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Peningkatan yang cukup signifikan. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, bertambah pula sampah yang terproduksi. Namun demikian, bukan berarti permasalahan akan sampah musykil untuk diatasi. Pengelolaan sampah tidak bisa lepas dari pengelolaan gaya hidup manusia. Diperlukan dekremen akan penggunaan sampah. Lihat saja jumlah sampah yang dihasilkan tiap person per harinya. Masih data menurut Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta, tiap orang di kota ini menghasilkan sampah rata-rata 2,9 liter per hari dengan 12 juta jiwa penduduk.
Sejatinya, permasalahan akan sampah baru muncul ketika sampah keluar dari pelbak di area rumah. Demikian seperti ucap Erry Suheriadi, Ketua Program Surabaya Green and Clean ketika ditemui Tim Sektor. “Ketika masih ada di tempat sampah di rumah, sampah belumlah menjadi sebuah masalah. Tapi ketika sampah itu keluar dari rumah, barulah timbul permasalahan dari sampah tersebut,” ungkap jurnalis Jawa Pos tersebut.
Sering muncul pertanyaan, kemana keberlanjutan sampah-sampah itu setelah dibawa petugas kebersihan? Ada banyak alternatif. Mungkin sebagian orang yang berpendidikan, dalam hal ini paham akan ‘persampahan’, terlebih dahulu akan memilah. Sampah dipilah menjadi dua, sampah organik (sampah basah) dan anorganik (sampah kering). Penulis cukup lega ketika hasil survei menyebutkan bahwa 88 persen mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (FE Unair) telah mengetahui dan membagi sampah menjadi dua bagian tersebut. Walaupun masih sebagian besar dari mereka, 94 persen pernah membuang sampah tidak pada tempatnya. Ironi ini makin diperparah dengan kerancuan sistem pengangkutan sampah di Indonesia sendiri. Para legator telah meletakkan tempat-tempat sampah di tiap sudut kota. Membaginya menjadi 2 golongan tadi, sampah basah dan sampah kering. Namun ketika para petugas kebersihan mengangkut sampah tersebut, gerobak yang digunakan tetap satu gerobak. Tidak dipisah ataupun disekat. Sedikit sia-sia pemerintah mendiferensi tong-tong sampah tadi.
Teori terodinamika dalam matakuliah Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan menyebutkan bahwa suatu energi tidak akan pernah habis. Energi tersebut dapat berotasi menjadi energi lagi, tidak hanya dalam bentuk energi yang sama namun dapat pula menghasilkan energi baru. Begitupula dengan sampah. Untuk sampah organik, banyak akademisi yang telah menemukan alat untuk mengolahnya. Proses composting salah satunya. Sampah organik diolah menjadi pupuk kompos yang ramah lingkungan. Indonesia sendiri telah memiliki jalur akademik untuk menangani masalah sampah. Adanya jurusan Teknik Lingkungan secara pasti turut serta membantu menangani permasalahan lingkungan. Lebih khusus, terdapat mata kuliah sampah yang secara eksplisit mengupas problematika sampah. Sementara untuk sampah anorganik dapat diubah menjadi berbagai jenis barang yang memiliki nilai jual. Nilai jual disini adalah ketika sampah-sampah yang notabene tidak berarti itu menjadi berarti. Layak distribusi dan masyarakat mau menukar uang mereka dengan barang daur ulang tersebut. Sampah bisa dekoratif. Pernak-pernik daur ulang adalah salah satu contoh hasil kretifitas home industry yang kini semakin banyak kita jumpai. Daun kering, kertas sisa, hingga barang bekas mampu diubah menjadi benda yang memiliki high value added.
Lebih luas, sebenarnya sampah organik dan anorganik hanyalah cabang dari permasalahan sampah di darat. Ingat ketiga unsur di bumi, masih terdapat laut dan udara. Permasalahan sampah memang sangat kompleks. Tidak bisa dipungkiri bahwa ketiga unsur bumi tersebut telah terkontaminasi oleh sampah. Tercemarnya laut dan sungai di Indonesia adalah bukti nyata merajalelanya sampah. Di Surabaya sendiri, tingkat pencemaran sungai telah mencapai level yang cukup memprihatinkan. Sungai yang dikonsumsi kurang lebih 2,7 juta jiwa warga Surabaya, 60 persen pencemarannya telah tercemari limbah domestik berupa sampah dan detergen. Sementara 30 persen kontaminasi berasal dari industri melalui pembuangan limbahnya, dan 10 persen-nya berasal dari limbah lainnya seperti dari pertanian dan peternakan. Beruntung, pemerintah sudah cukup sigap meminimalisasi permasalahan sampah ini. Terdapat gerakan Stop Cemari Kali Surabaya (SCKS). Program yang baru di-launching Januari tahun ini, memiliki sasaran utama yaitu pengurangan pencemaran dari limbah domestik sebagai penyumbang pencemaran terbesar.
Sementara untuk gelar penyumbang polusi udara terbesar dipegang sektor transportasi. Buruknya sistem transportasi kendaraan umum menyebabkan masyarakat memilih mengendarai kendaraan pribadi untuk menunjang mobilitasnya. Akibatnya, asap kendaraan tersebut menjadi penyumbang polusi udara sekitar 70 persen. Belum lagi asap-asap yang lain, seperti asap pabrik maupun asap rokok. Sebenarnya lagi-lagi pemerintah telah mencari cara untuk mereduksi problem ini. Di pelbagai kota metropolitan, telah dicanangkan program Car Free Day sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas udara di kota metropolitan. Di Surabaya sendiri, program itu telah mulai digalakkan, diadakan dua kali dalam sebulan, tiap minggu kedua dan keempat. Memang, progress-nya tidak bisa kita rasakan sekarang, namun apabila upaya ini kontinyu untuk dilaksanakan, tidak mustahil 10-20 tahun lagi anak cucu kita kan menghirup udara segar di kota ini.
Seperti kaidah mata uang, di satu sisi sampah adalah benda usang dimana sudah berkurang daya gunanya, di sisi lain bisnis sampah itu menjanjikan. Tentu banyak yang tidak menyangka bahwa sampah merupakan bisnis yang menguntungkan dan memiliki prospek bagus. Selain bisnis daur ulang sampah seperti yang penulis sebutkan diatas, beberapa individu telah menemukan celah pengelolaan sampah. Seperti yang dilakukan Rhenald Kasali, pendiri Rumah Perubahan. Konsep dari Rumah Perubahan adalah mengumpulkan sampah lalu mengolahnya menjadi biomass energy. Dalam prosesnya, Rhenald bekerja sama dengan Hidayat, seorang sarjana ekonomi. Bahkan Hidayat sendiri kini tengah menggelar program 1000 enterpreneur sampah. Perlu diketahui, omzet yang mampu dikais dari bisnis pengolahan ini mencapai 225 juta rupiah per bulan.
Konklusinya, permasalahan sampah memang kompleks. Sampah bukan sekedar benda ’menjijikkan’ yang hanya mampu memaksa kita menutup hidung ketika melihatnya. Tapi, sampah bisa menjadi sebuah komoditi menguntungkan apabila kita paham akan konsep pengolahannya. Diharapkan Sektor edisi SAMPAHolic ini mampu mengatasi konstelasi sekaligus meningkatkan daya kreativitas personal akan konfigurasi sampah itu sendiri.
Well, artikel itu emang jauh dari sempurna.
tapi, yang bikin aku tambah semangat ama tema ini, ada yang ngmg tema ini Ekonomi Pembangunan banget lewat matakulia ekonomi dan sumber daya alam-nya. hehe
wah, syukur dah,,,,, :-)
satu lagi, artikel ini mampu menyabet ARTIKEL TERBAIK di Pelatihan Dasar Jurnalistik yang digagas LPPM Insight Psikologi Unair.
hehe.
penghargaan pertamaku di dunia tulis-menulis.
walopun cuma dapet block notes,
sumpah.
penghargaan ini,
sedikit mencerahkanku.. kemana masa depanku mau kubawa.
CAYOOOOO!!! :')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar